Langsung ke konten utama

Cerpenku : Paman Edwin

 

Paman Edwin

Nurul Astuti

 

Ilustrasi untuk cerpen Paman Edwin (Foto: Dok.Pribadi/Nurul Astuti)

Aku suka sekali dengan Paman Edwin. Sejak mama tidak lagi hidup seatap dengan papa, paman Edwin yang sering menemani diriku. Aku juga tidak tahu, mengapa papa meninggalkan mama. Aku hanya mendengar mama pernah marah-marah kepada papa dengan menyebut seorang nama perempuan. Tante Elly namanya. Aku kenal dengan tante Elly. Tante cantik teman mama dan papa. Dan mama menyebut nama itu dengan wajah berwarna merah keungu-unguan. Sampai-sampai mama melempar guci China pemberian kakek yang indah sekali. Guci itu hancur berkeping-keping dengan tangisan mama yang terburai-burai. Beberapa minggu setelah itu papa tidak hidup bersama kami lagi. Dan mama menangis lagi, kali ini mama menangisi guci yang pecah. Mama menyesal sekali.

Paman Edwin ibarat capung yang berterbangan di taman bunga yang indah. Mengajakku bermain sambil berterbangan kian kemari. Paman pintar sekali bercerita. Mendongengkan lebah dengan nektar manis di bunga dahlia. Tentang rombongan semut kecil yang berbaris di reremahan kue coklat. Juga cerita ulat bulu menjijikkan yang akhirnya menjadi kupu-kupu cantik yang menawan. Paman Edwin bercerita itu sambil membelai-belai kepalaku.

Paman Edwin memang ganteng sekali. Itu aku dengar dari ucapan seorang guru di sekolahku. Sekolah Dasar Mentari Ceria.

“Dira, apakah itu Ayah mu ?”

“Bukan Bu Guru, dia itu Pamanku.”

“Berarti adik Mamanya Dira.?

“Iya Bu Guru.”

Dan setelah itu aku mendengar cekikikan beberapa ibu guruku yang masih muda Mereka seperti menemukan mainan kesukaan. Mereka berkata dengan berbisik-bisik. Sambil menggoyang-goyangkan kepala dan pundak mereka. Aku jadi tersenyum melihat tingkah ibu guruku. Dan ketika Paman Edwin memasuki halaman sekolah untuk menjemputku, dengan sigap bu guru-bu guru yang masih muda-muda itu menyambut kehadiran Paman Edwin.

Paman Edwin juga pandai bercerita di perjalanan pulang sekolah. Paman bercerita tentang gunung Merapi yang samar-samar terlihat karena tertutup awan. Aku baru tahu, ternyata gunung Merapi itu pakunya pulau Jawa. Kata Paman, paku itu tepat di tengah Pulau Jawa. Sehingga Pulau Jawa seimbang kedudukannya. Aiiih…Paman Edwin pintar ya. Aku semakin sayang dengan pamanku ini. Aku peluk paman dari belakang badannya. Padahal paman sedang asyik bercerita sambil memegang setir motor. Perut paman yang datar aku cubit, walau sulit. Aku gemas dengan paman. Dan paman menjerit. Lucu sekali.

“Ehhh anak manis nggak boleh gemes cubit-cubit ya,” suara paman terdengar penuh kasih sayang.

“Paman baik siiih. Dira suka.”

“Tapi jangan dicubit sakiiiit,” Paman Edwin berkata sambil tertawa.

“Tapi nanti Dira dibelikan es krim ya.”

“Iya Sayang.”

Aku kadang berfikir. Mengapa papa dulu tidak seperti Paman Edwin ya ? Tidak suka bercerita dongeng dan tidak suka pula mengajak jalan menikmati pemandangan alam. Papa rajin sekali membelikan aku boneka dan buku-buku cerita. Tapi boneka dan buku-buku itu tidak bisa bercerita. Mereka semua hanya membisu. Papa meletakkan boneka dan buku cerita di samping tubuhku yang sedang tertidur. Aku masih ingat, kadang aku bermimpi sebuah kecupan di keningku. Seperti pangeran yang mengecup pipi putri salju yang pingsan tersihir ibu ratu yang jahat. Ketika aku terbangun di kala pagi, aku mendapati boneka cantik dan buku cerita dongeng dengan gambar sampul yang bagus sekali. Tapi aku tidak menemui pangeran yang mengecup keningku tadi malam. Aku yakin itu pasti papa.

“Ma, Papa kemana ?”

“Sudah berangkat kerja.”

Mama menjawab pertanyaanku dengan gerakan tubuh yang tergesa-gesa. Wajah mama bolak-balik melihat jam dinding di kamar kami. Mama menyuruhku untuk segera mandi. Mama mengingatkanku agar jangan sampai telat masuk sekolah. Mama juga bilang, dirinya tidak boleh juga terlambat sampai kantor. Kata mama, ada meeting penting. Aku kembali mengingatkan mama, bahwa pagi itu juga ada undangan orang tua di sekolah.

“Biar Paman Edwin yang datang ke sekolah Dira ya.”

Itulah papa dan mama. Papa sangat langka wajahnya di hadapanku. Karena papa sering kerja ke luar kota. Mama juga sama, aku lebih sering mendengar suara mama saat pagi mau berangkat sekolah dan malam kala mama menyuruhku segera tidur. Selebihnya tidak ada.

Sedangkan Paman Edwin, wajahnya selalu menghiasi hari-hariku. Ketika sampai di rumah setelah pulang sekolah, paman akan melepaskan sepatuku, kemudian melepas baju seragamku. Lalu dia akan mengitik-ngitik pinggang dan perutku. Geli sekali. Sampai aku terpingkal-pingkal. Paman Edwin memang sangat menghiburku. Paman akan segera menyuruhku makan siang. Aku kadang malas makan siang. Aku ingin bermain terus dengan paman. Main kitik-kitikan. Tapi paman mengingatkanku untuk tidak boleh telat makan. Kalau aku merajuk, maka paman dengan sabar menyuapi aku. Setiap suapan ada senyum paman yang indah sekali. Dan setiap suapan yang masuk ke mulutku terasa nikmat sekali.

Suatu sore yang hangat aku menemukan seekor serangga berwarna hijau. Badannya mengerikan sekali. Kaki dan tangannya panjang. Sayapnya juga panjang. Kepalanya terangguk-angguk. Aku berlari memanggil paman.

“Itu hewan apa Paman ?”

“Oh itu namanya belalang sentadu.”

“Bisa gigit Dira tidak Paman ?”

“Tidak.”

“Aku boleh pegang belalang itu ?”

“Boleh”

“Apakah dia jahat ?”

“Kadang dia jahat pada temannya sendiri.”

“Oh iya bagaimana jahatnya ?”

“Dia memakan kepala temannya sendiri.”

“Hiii….takuuut.”

Aku memeluk Paman Edwin. Paman membalas pelukanku. Dengan erat paman memelukku. Aku merasa damai. Tangan paman dengan lembut membelai rambutku. Mataku masih berani menatap belalang sentadu. Wajah belalang itu balas menatapku. Matanya menembus mataku. Seperti menantang. Nyalang. Aku sungguh takut.

Saat yang aku suka yaitu mandi sore yang ceria. Paman menyiapkan air hangat untukku. Setiap tiga hari sekali paman mengganti handuk mandiku. Dan seperti saat membuka baju seragam, paman juga membantuku membuka baju. Kembali permainan kitik-kitik membuatku terpingkal-pingkal. Aku berlari meninggalkan paman. Berharap paman segera mengejarku. Paman Edwin yang tinggi dengan mudah meraihku. Kembali mengkitik-kitik. Aku suka sekali. Paman Edwin memang sayang padaku.

Suatu sore mama meneleponku. Mama akan pulang terlambat karena ada tamu kantor mendadak. Aku tidak bersedih. Mungkin jika terjadi pada anak lain akan kecewa kalau tahu mamanya pulang terlambat. Bagiku, Paman Edwin sudah cukup menggantikan mama dan papa. Hanya seorang saja, Paman Edwin bisa mengurusi makanku, menyiapkan mandiku, mendampingiku belajar dan menemaniku tidur. Paman Edwin tidak  lupa memberi pengantar sebelum tidurku berupa cerita. Kisah tentang lebah madu dan bunga manggar kelapa. Lebah madu sanggup terbang menaiki pohon kelapa yang tinggi. Dan ketika sampai di bunga manggar, si lebah merasa menemukan tempat yang indah dan memesona. Cerita paman sangat indah hingga aku memejamkan mata.

Keesokkan paginya, cerita indah lebah madu dan bunga manggar hilang berganti teriakan mama. Ketika mama menemukan noda di celana dalamku. Aku heran mengapa mama menanggapi ceritaku dengan kepanikan yang luar biasa. Padahal aku hanya bilang “Mama, kalau pipis aku sakit. Sakitnya tu di sini.” 

Mama mengguncang-guncang tubuhku. Meminta suatu jawaban dari diriku. Gaya mama bertanya seperti Pak De Jarwo kalau memergoki maling buah mangganya. Matanya melotot seperti mau memakan maling tersebut. “Siapa-siapa ?” kata yang selalu diucapakan mama. Aku jadi teringat Pak De Jarwo lagi. Selalu mengatakan siapa-siapa kalian berani-beraninya mencuri manggaku. Pak De  Jarwo dengan kumis melintang berlari mengejar maling. Kakinya berserimpetan dengan sarung yang dipakainya, sedangkan tangan Pak De mengacung-acungkan sapu lidi.

Aku tidak boleh sekolah hari itu. Mama membawaku ke dokter. Heranku bertambah lagi, apakah sakit ku parah ? Dan aku semakin heran saat mama menyumpah serapahi Paman Edwin. Di depan stir mobil mama tak habis-habisnya menjelek-jelekkan nama Paman Edwin. Napas mama terdengar menderu mengalahkan suara mesin mobil dan nama Paman Edwin semakin buruk terdengar di telingaku. Aku jadi menyesal melapor tentang sakit saat pipis ku.

Kehisterisan mama semakin menjadi saat dokter yang memeriksaku mengatakan bahwa aku telah ternoda. Aku tak tahu yang dimaksud oleh dokter.  Apakah aku ternoda kecap atau saus tomat kesukaanku. Aku memang suka makan keripik jamur dengan mencocol saus tomat. Hasil pemeriksaan laboratorium telah membuktikan aku ternoda. Dokter mengatakan itu dengan wajahnya yang muram. Selembar kertas diberikan kepada mama. Mama menangis di depan dokter. Dokter mengatakan juga bahwa surat tersebut bisa sebagai bukti pelaporan kasus ke polisi. Aku melihat wajah mama selanjutnya menjadi merah berapi. “Saya akan lapor polisi walau dia adik saya sendiri.”

Hari itu, hari yang paling menyedihkan bagiku. Seumur-umur aku tidak pernah melihat mama memarahi Paman Edwin. Paman Edwin duduk meringkuk di kursi ujung ruang tamu. Tidak hanya mama yang berang. Saudara mama yang lain juga ikut menghakimi Paman Edwin. Aku tidak boleh mendekati adegan marah-marah itu di ruang tamu. Aku berbaring memeluk guling di kamar. Air mataku mengalir. Aku menangis. Kasihan Paman Edwin. Aku tidak rela Paman Edwin yang sayang padaku dimarahi mama dan pak de yang lain. Mengapa ulah paman menemaniku tidur dipersalahkan ?

Aku mendengar suara deru mobil. Aku berlari mendekati jendela kamar. Melihat siapa gerangan yang datang. Apakah ada orang lain lagi yang akan memarahi Paman Edwinku ? Ternyata yang datang adalah sebuah mobil berwarna hitam. Dari dalamnya keluar dua orang laki-laki berseragam polisi. Aku menjadi takut. Aku tahu, polisi adalah orang menangkap penjahat. Apakah polisi-polisi itu akan menangkap Paman Edwin ? Aku semakin menangis. Suara tangisku meninggi. Menangis sendiri.

Aku berlari menuju ruang tamu. Menjerit dan mendekati Paman Edwin.

“Jangan tangkap Paman Edwin !” teriakku.

Semua orang yang berada di ruang tamu memegangi badanku. Berusaha menarik diriku dari Paman Edwin. Aku meronta. Aku tidak mau dipisahkan dengan Paman Edwin. Aku sayang dengan Paman Edwin. Aku tidak mau Paman Edwin dipenjara oleh Bapak – Bapak  Polisi itu. Dan tangisku semakin pecah saat polisi-polisi itu membawa Paman Edwin. Paman Edwin pergi meninggalkanku. Dunia serasa gelap bagi diriku sekarang. Aku melihat mama juga menangis. Tangisan mama tak kalah seru dengan tangisanku.

Sejak kepergian Paman Edwin, hari-hariku terasa sepi. Mama memberi pengganti Paman Edwin untuk diriku. Seorang wanita yang tugasnya sama dengan Paman Edwin. Menjemputku sekolah, menyiapkan makan siangku, menyiapkan mandiku dan menjagaku bermain. Tapi aku tetap merasa sedih. Perempuan yang menjaga aku itu tidak bisa bercerita dan mendongeng seperti Paman Edwin. Dia lebih suka menonton sinetron televise atau memain-mainkan handphone saat aku bermain-main sendiri.

Aku rindu sekali dengan Paman Edwin. Paman Edwin yang suka membelai rambutku. Aku jadi sering nangis sendiri. Aku jadi suka menyisakan makanan di piringku. Walau perempuan penjagaku memaksa aku untuk menghabiskan nasiku. Aku menangis sendiri. Aku merasa berjalan di lorong yang sepi. Papa sudah menghilang. Kini Paman Edwin pun hilang. Sedangkan mama, bagiku mama sudah lama hilang. 

                                                      ***********

Demikian cerpenku yang berjudul Paman Edwin. Semoga bisa menjadi hikmah berharga. Silakan berkunjung ke akun media sosialku 

IG    @nurul_triedhiastuti

FB    Nurul Astuti

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resep Roti Tawar Kukus Metode Autolisis

Roti tawar kukus yang barusan matang (Foto:Dok.Pribadi/Nurul astuti) Roti tawar adalah jenis roti yang sangat digemari. Cocok sekali dihidangkan untuk sarapan pagi. Bisa dimakan tanpa olesan bahan lain atau jika ingin lebih enak diberi olesan margarin dan selai.  Kali ini saya akan berbagi resep roti tawar kukus. Hasilnya sangat lembut dan moisty (lembab). Teknik kali ini adalah metode autolyse atau autolisis.Teknik autolisis adalah teknik membuat adonan roti dengan mencampurkan tepung dengan air terlebih dulu tanpa ragi. Diberi jeda waktu minimal 20 menit dan maksimal sekitar 4 jam Baru setelah masa jeda itu adonan diberi ragi.  Dengan pencampuran air dan tepung dulu tanpa ragi akan membuat proses gluten lebih baik. Gula akan beristirahat kemudian menyatu sehingga proses gluten lebih teratur. Nantinya akan menghasilkan adonan roti yang lebih lembut. Setelah proses pengistirahatan adonan ini baru kemudian diberi ragi. Roti tawar kukus yang barusan dileluarkan dari loyang (Foto:Dok.Prib

Resep Donat Pandan, Rasanya Legit dan Gurih Cita Rasa Santan

  Donat Pandan rasanya legit cita rasa santan (Foto: Dok.Pribadi/Nurul Astuti) Donat selalu disukai oleh segala kalangan, anak-anak maupun orang dewasa. Banyak variant donat. Semuanya punya ke-khasan tersendiri. Kali ini saya membuat Donat Pandan yang memiliki cita rasa legit dan gurih karena berbahan santan. Yuk kita coba resep di bawah ini untuk disajikan ke keluarga. Siapa tahu juga bisa untuk usaha.  Bahan yang disiapkan : • 250 gr tepung terigu protein tinggi • 3 sdm gula pasir • 2 kuning telur • 130 ml santan. Bisa dari 1 sachet santan instan 65 ml dicampur 65 ml air. Aduk. • 1,5 sdt ragi instan (bisa fermipan atau mauripan) • sedikit pasta pandan • 2 sdm margarin * sdm = sendok makan * sdt = sendok teh Bahan topping :  • gula halus secukupnya (ini kali saya menggunakan gula pasir halus) bisa juga • coklat glaze tabur mesis Cara buat : • Larutkan terlebih dulu gula pasir ke dalam cairan santan. Agar nanti menghasilkan adonan yang lembut.  • Beri sedikit pasta pandan ke dalam cair