Paman Edwin
Nurul Astuti
Ilustrasi untuk cerpen Paman Edwin (Foto: Dok.Pribadi/Nurul Astuti)
Aku suka sekali dengan Paman Edwin. Sejak mama tidak lagi hidup
seatap dengan papa, paman Edwin yang sering menemani diriku. Aku juga tidak
tahu, mengapa papa meninggalkan mama. Aku hanya mendengar mama pernah
marah-marah kepada papa dengan menyebut seorang nama perempuan. Tante Elly
namanya. Aku kenal dengan tante Elly. Tante cantik teman mama dan papa. Dan mama menyebut nama
itu dengan wajah berwarna merah keungu-unguan. Sampai-sampai mama melempar guci
Paman Edwin ibarat capung yang berterbangan di taman bunga yang indah. Mengajakku bermain sambil berterbangan kian kemari. Paman pintar sekali bercerita. Mendongengkan lebah dengan nektar manis di bunga dahlia. Tentang rombongan semut kecil yang berbaris di reremahan kue coklat. Juga cerita ulat bulu menjijikkan yang akhirnya menjadi kupu-kupu cantik yang menawan. Paman Edwin bercerita itu sambil membelai-belai kepalaku.
Paman Edwin memang ganteng sekali. Itu aku dengar dari ucapan seorang guru di sekolahku. Sekolah Dasar Mentari Ceria.
“Dira, apakah itu Ayah mu ?”
“Bukan Bu Guru, dia itu Pamanku.”
“Berarti adik Mamanya Dira.?
“Iya Bu Guru.”
Dan setelah itu aku mendengar cekikikan beberapa ibu guruku yang masih muda Mereka seperti menemukan mainan kesukaan. Mereka berkata dengan berbisik-bisik. Sambil menggoyang-goyangkan kepala dan pundak mereka. Aku jadi tersenyum melihat tingkah ibu guruku. Dan ketika Paman Edwin memasuki halaman sekolah untuk menjemputku, dengan sigap bu guru-bu guru yang masih muda-muda itu menyambut kehadiran Paman Edwin.
Paman Edwin juga pandai bercerita di perjalanan pulang sekolah. Paman bercerita tentang gunung Merapi yang samar-samar terlihat karena tertutup awan. Aku baru tahu, ternyata gunung Merapi itu pakunya pulau Jawa. Kata Paman, paku itu tepat di tengah Pulau Jawa. Sehingga Pulau Jawa seimbang kedudukannya. Aiiih…Paman Edwin pintar ya. Aku semakin sayang dengan pamanku ini. Aku peluk paman dari belakang badannya. Padahal paman sedang asyik bercerita sambil memegang setir motor. Perut paman yang datar aku cubit, walau sulit. Aku gemas dengan paman. Dan paman menjerit. Lucu sekali.
“Ehhh anak manis nggak boleh gemes
cubit-cubit ya,” suara paman terdengar penuh kasih sayang.
“Paman baik siiih. Dira suka.”
“Tapi jangan dicubit
sakiiiit,” Paman Edwin berkata sambil tertawa.
“Tapi nanti Dira dibelikan es krim ya.”
“Iya Sayang.”
Aku kadang berfikir. Mengapa papa dulu tidak seperti Paman Edwin ya ? Tidak suka bercerita dongeng dan tidak suka pula mengajak jalan menikmati pemandangan alam. Papa rajin sekali membelikan aku boneka dan buku-buku cerita. Tapi boneka dan buku-buku itu tidak bisa bercerita. Mereka semua hanya membisu. Papa meletakkan boneka dan buku cerita di samping tubuhku yang sedang tertidur. Aku masih ingat, kadang aku bermimpi sebuah kecupan di keningku. Seperti pangeran yang mengecup pipi putri salju yang pingsan tersihir ibu ratu yang jahat. Ketika aku terbangun di kala pagi, aku mendapati boneka cantik dan buku cerita dongeng dengan gambar sampul yang bagus sekali. Tapi aku tidak menemui pangeran yang mengecup keningku tadi malam. Aku yakin itu pasti papa.
“Ma, Papa kemana ?”
“Sudah berangkat kerja.”
Mama menjawab pertanyaanku dengan gerakan tubuh yang tergesa-gesa. Wajah mama bolak-balik melihat jam dinding di kamar kami. Mama menyuruhku untuk segera mandi. Mama mengingatkanku agar jangan sampai telat masuk sekolah. Mama juga bilang, dirinya tidak boleh juga terlambat sampai kantor. Kata mama, ada meeting penting. Aku kembali mengingatkan mama, bahwa pagi itu juga ada undangan orang tua di sekolah.
“Biar Paman Edwin yang datang ke sekolah Dira ya.”
Itulah papa dan mama. Papa sangat langka wajahnya di hadapanku. Karena
papa sering kerja ke luar
Sedangkan Paman Edwin, wajahnya selalu menghiasi hari-hariku. Ketika sampai di rumah setelah pulang sekolah, paman akan melepaskan sepatuku, kemudian melepas baju seragamku. Lalu dia akan mengitik-ngitik pinggang dan perutku. Geli sekali. Sampai aku terpingkal-pingkal. Paman Edwin memang sangat menghiburku. Paman akan segera menyuruhku makan siang. Aku kadang malas makan siang. Aku ingin bermain terus dengan paman. Main kitik-kitikan. Tapi paman mengingatkanku untuk tidak boleh telat makan. Kalau aku merajuk, maka paman dengan sabar menyuapi aku. Setiap suapan ada senyum paman yang indah sekali. Dan setiap suapan yang masuk ke mulutku terasa nikmat sekali.
Suatu sore yang hangat aku menemukan seekor serangga berwarna hijau. Badannya mengerikan sekali. Kaki dan tangannya panjang. Sayapnya juga panjang. Kepalanya terangguk-angguk. Aku berlari memanggil paman.
“Itu hewan apa Paman ?”
“Oh itu namanya belalang sentadu.”
“Bisa gigit Dira tidak Paman ?”
“Tidak.”
“Aku boleh pegang belalang itu ?”
“Boleh”
“Apakah dia jahat ?”
“Kadang dia jahat pada temannya sendiri.”
“Oh iya bagaimana jahatnya ?”
“Dia memakan kepala temannya sendiri.”
“Hiii….takuuut.”
Aku memeluk Paman Edwin. Paman membalas pelukanku. Dengan erat paman memelukku. Aku merasa damai. Tangan paman dengan lembut membelai rambutku. Mataku masih berani menatap belalang sentadu. Wajah belalang itu balas menatapku. Matanya menembus mataku. Seperti menantang. Nyalang. Aku sungguh takut.
Saat yang aku suka yaitu mandi sore yang ceria. Paman menyiapkan air hangat untukku. Setiap tiga hari sekali paman mengganti handuk mandiku. Dan seperti saat membuka baju seragam, paman juga membantuku membuka baju. Kembali permainan kitik-kitik membuatku terpingkal-pingkal. Aku berlari meninggalkan paman. Berharap paman segera mengejarku. Paman Edwin yang tinggi dengan mudah meraihku. Kembali mengkitik-kitik. Aku suka sekali. Paman Edwin memang sayang padaku.
Suatu sore mama meneleponku. Mama akan pulang terlambat karena ada tamu kantor mendadak. Aku tidak bersedih. Mungkin jika terjadi pada anak lain akan kecewa kalau tahu mamanya pulang terlambat. Bagiku, Paman Edwin sudah cukup menggantikan mama dan papa. Hanya seorang saja, Paman Edwin bisa mengurusi makanku, menyiapkan mandiku, mendampingiku belajar dan menemaniku tidur. Paman Edwin tidak lupa memberi pengantar sebelum tidurku berupa cerita. Kisah tentang lebah madu dan bunga manggar kelapa. Lebah madu sanggup terbang menaiki pohon kelapa yang tinggi. Dan ketika sampai di bunga manggar, si lebah merasa menemukan tempat yang indah dan memesona. Cerita paman sangat indah hingga aku memejamkan mata.
Keesokkan paginya, cerita indah lebah madu dan bunga manggar hilang berganti teriakan mama. Ketika mama menemukan noda di celana dalamku. Aku heran mengapa mama menanggapi ceritaku dengan kepanikan yang luar biasa. Padahal aku hanya bilang “Mama, kalau pipis aku sakit. Sakitnya tu di sini.”
Mama mengguncang-guncang tubuhku. Meminta suatu jawaban dari diriku.
Aku tidak boleh sekolah hari itu. Mama membawaku ke dokter. Heranku bertambah lagi, apakah sakit ku parah ? Dan aku semakin heran saat mama menyumpah serapahi Paman Edwin. Di depan stir mobil mama tak habis-habisnya menjelek-jelekkan nama Paman Edwin. Napas mama terdengar menderu mengalahkan suara mesin mobil dan nama Paman Edwin semakin buruk terdengar di telingaku. Aku jadi menyesal melapor tentang sakit saat pipis ku.
Kehisterisan mama semakin menjadi saat dokter yang memeriksaku
mengatakan bahwa aku telah ternoda. Aku tak tahu yang dimaksud oleh dokter. Apakah aku ternoda kecap atau saus tomat
kesukaanku. Aku memang suka makan keripik jamur dengan mencocol saus tomat. Hasil
pemeriksaan laboratorium telah membuktikan aku ternoda. Dokter mengatakan itu
dengan wajahnya yang muram. Selembar kertas diberikan kepada mama. Mama menangis di depan
dokter. Dokter mengatakan juga bahwa
Hari itu, hari yang paling menyedihkan bagiku. Seumur-umur aku tidak pernah melihat mama memarahi Paman Edwin. Paman Edwin duduk meringkuk di kursi ujung ruang tamu. Tidak hanya mama yang berang. Saudara mama yang lain juga ikut menghakimi Paman Edwin. Aku tidak boleh mendekati adegan marah-marah itu di ruang tamu. Aku berbaring memeluk guling di kamar. Air mataku mengalir. Aku menangis. Kasihan Paman Edwin. Aku tidak rela Paman Edwin yang sayang padaku dimarahi mama dan pak de yang lain. Mengapa ulah paman menemaniku tidur dipersalahkan ?
Aku mendengar suara deru mobil. Aku berlari mendekati jendela kamar. Melihat siapa gerangan yang datang. Apakah ada orang lain lagi yang akan memarahi Paman Edwinku ? Ternyata yang datang adalah sebuah mobil berwarna hitam. Dari dalamnya keluar dua orang laki-laki berseragam polisi. Aku menjadi takut. Aku tahu, polisi adalah orang menangkap penjahat. Apakah polisi-polisi itu akan menangkap Paman Edwin ? Aku semakin menangis. Suara tangisku meninggi. Menangis sendiri.
Aku berlari menuju ruang tamu. Menjerit dan mendekati Paman Edwin.
“Jangan tangkap
Paman Edwin !” teriakku.
Semua orang yang berada di ruang tamu memegangi badanku. Berusaha menarik diriku dari Paman Edwin. Aku meronta. Aku tidak mau dipisahkan dengan Paman Edwin. Aku sayang dengan Paman Edwin. Aku tidak mau Paman Edwin dipenjara oleh Bapak – Bapak Polisi itu. Dan tangisku semakin pecah saat polisi-polisi itu membawa Paman Edwin. Paman Edwin pergi meninggalkanku. Dunia serasa gelap bagi diriku sekarang. Aku melihat mama juga menangis. Tangisan mama tak kalah seru dengan tangisanku.
Sejak kepergian Paman Edwin, hari-hariku terasa sepi. Mama memberi pengganti Paman Edwin untuk diriku. Seorang wanita yang tugasnya sama dengan Paman Edwin. Menjemputku sekolah, menyiapkan makan siangku, menyiapkan mandiku dan menjagaku bermain. Tapi aku tetap merasa sedih. Perempuan yang menjaga aku itu tidak bisa bercerita dan mendongeng seperti Paman Edwin. Dia lebih suka menonton sinetron televise atau memain-mainkan handphone saat aku bermain-main sendiri.
Aku rindu sekali dengan Paman Edwin. Paman Edwin yang suka membelai rambutku. Aku jadi sering nangis sendiri. Aku jadi suka menyisakan makanan di piringku. Walau perempuan penjagaku memaksa aku untuk menghabiskan nasiku. Aku menangis sendiri. Aku merasa berjalan di lorong yang sepi. Papa sudah menghilang. Kini Paman Edwin pun hilang. Sedangkan mama, bagiku mama sudah lama hilang.
***********
Demikian cerpenku yang berjudul Paman Edwin. Semoga bisa menjadi hikmah berharga. Silakan berkunjung ke akun media sosialku
IG @nurul_triedhiastuti
FB Nurul Astuti
Komentar
Posting Komentar